Blog rejekingalir.com
Blog rejekingalir.com mengulas tentang sastra, game, dan gaya hidup dengan sudut pandang yang lebih luas

Buku (Bukan) Pasaran Terakhir: Pesan Tersembunyi dari Balik Layar

seperti apa buku bukan pasaran terakhir? apa yang diceritakan dan bagaimana ulasan jujur tentang keseluruhan cerita dan penulisan?

Apakah kamu pernah ikut aksi unjuk rasa ketika duduk di bangku kuliah? Apa malah sudah memulai demonstrasi saat masih berseragam abu-abu? Atau kalem seperti saya, hehe. Tentunya pengalaman yang luar biasa mengikuti kegiatan tersebut, dengan catatan bahwa aksi demonstrasi yang dilakukan memang untuk kemajuan negeri dan kesejahteraan rakyat. 

resensi buku bukan pasaran terakhir

Lalu apa yang terpikirkan olehmu ketika ada kegiatan dengan dalih Proyek Strategis Nasional tetapi malah mengancam pelestarian lingkungan sekitar dan juga masyarakat setempat, apalagi bila ada bekingan dari pihak yang memiliki kepentingan pribadi? Oleh karenanya, upaya aksi unjuk rasa bisa menjadi langkah untuk menyuarakan aspirasi pencegahan, agar proyek tersebut dihentikan. Inilah yang hendak disampaikan melalui novel (Bukan) Pasaran Terakhir karya Pak Yon Bayu Wahyono melalui karakter Kario, Ratri, dan Riri.

Tokoh Kario Harsono, pria yang berusia matang tinggal di Desa Pandak. Lokasi tinggalnya berada di sekitar Gunung Kapur, yang tak dinyana menjadi proyek penambangan dengan alasan Proyek Strategis Nasional. Akan tetapi, dampak kurang baik ditimbulkan dari proyek tersebut, karena menyebabkan terganggunya daerah resapan air di sekitar gunung yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Hal ini menjadi alasan turunnya aktivis dari akademis yaitu Putri, Ratri, Nani, Reza, Bowo, Fajri, dan Tomo agar proyek penambangan di Gunung Kapur dihentikan. 

Dalam proses menyuarakan aspirasi para aktivis yang merupakan mahasiswa dari berbagai fakultas itu, menginap di rumah Kario. Tak diduga, mengantarkan pada terkuaknya rasa cinta Kario kepada Riri Safitri yang masih terpendam sejak keduanya berstatus mahasiswa. Kenangan pun makin berdatangan dalam benak Kario, terlebih melihat sosok Ratri yang karakternya serupa dengan Riri, sama-sama aktivis di kampus. 

Bila membaca gambaran cerita di atas, mungkin pembaca blog rejekingalir.com sudah mulai menerka jalan ceritanya bakal seperti apa. Bisa saja ada yang berpikir tentang kisah romantis, ada adegan aksi unjuk rasa, penambangan atau adegan menarik lainnya. Saya pun awalnya demikian. Hanya saja ada hal-hal mengganjal dan mengganggu yang saya rasakan. 

Untungnya saya diberikan kesempatan untuk bisa melahap isi buku karya Pak Yon Bayu ini, dan bisa mendukung melalui ulasan yang kata beliau, "Boleh dengan Tegas". Baiklah, tidak berlama-lama dengan mukaddimah, ulasan jujur ini pun saya utarakan dengan memposisikan diri sebagai pembaca tanpa melihat nama penulisnya.

resensi buku bukan pasaran terakhir
cover depan buku (Bukan) Pasaran Terakhir) - dok. rejekingalir.com

Terkecoh dengan Judul

Novel (Bukan) Pasaran Terakhir memiliki tebal 166 halaman yang ditulis oleh Pak Yon Bayu Wahyono, dan terbit pada bulan Oktober 2024. Heemmm, masih anyar banget, ya?

Yups, novel yang diterbitkan oleh Teras Budaya Jakarta ini menggunakan bahasa bisa dimengerti dan beberapa ada selipan kata berbahasa jawa (sayang tidak dilengkapi dengan arti dari tiap kata). 

Dengan sudut pandang campuran, novel ini menjadi novel kedua karangan Pak Yon Bayu yang saya baca setelah novel Prasa – Operasi Tanpa Nama dari penerbit yang sama.

Kalau dari membaca judulnya, tadinya saya pikir novel (Bukan) Pasaran Terakhir ini akan menguak perhitungan pasaran, seperti Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage, lalu dihitung neptu dan wetonnya seperti apa. Maklum saja, judul akan menjadi hal yang pertama kali saya lihat pada sebuah buku. Dan ternyata, bukan (hix). Dari judul novel, mengacu kepada cover buku ini. 

resensi buku bukan pasaran terakhir
Dua novel karya Pak Yon Bayu Wahyono yang saya baca - dok. rejekingalir.com

Antara Prasa dan (Bukan) Pasaran Terakhir

Setelah melihat judul, mata saya tertuju dengan yang namanya ilustrasi buku alias cover depannya.  Tanpa melihat nama pengarang/penulisnya, (kebetulan font warna nama penulis yang agak samar terlihat), yang terlintas dalam benak saya adalah: ini seperti buku dokumenter tentang pasar atau layaknya buku non fiksi, karena ilustrasinya mengarah ke sana, begitupun judulnya. 

Mungkin untuk urusan cover anggaplah di luar jangkauan penulis. Namun karena saya pernah melihat postingan teman-teman penulis (di temlen medsos saya) "Bantuin pilih covernya ya guys", baik yang bukunya diterbitkan di penerbit mayor maupun selfpublishing, ini memungkinkan sebelum naik cetak, ada pembicaraan antara penulis dengan ilustrator atau bagian design buku tentang bagian cover.

ulasan buku novel karya yon bayu
Beberapa contoh postingan teman yang muncul di temlen medsos saya terkait "vote cover buku"

Khusus untuk buku yang diterbitkan secara selfpublishing, tentunya bila ada hal-hal yang dianggap kurang apik, bisa untuk dibicarakan kembali sebelum naik cetak. Harapan saya, semoga baik dari sisi penulis maupun penerbit, bisa lebih dulu saling komunikasi untuk menampilkan cover buku yang lebih menarik. 

Bila saja cover novel (Bukan) Pasaran Terakhir ini, ada tangan-tangan yang sedang unjuk rasa dengan latar belakang Gunung Kapur, atau jas almamater dengan tampilan yang minimalis seperti cover novel Prasa, yang minimalis dengan sepatu boots dan bunga mawar merah, kesan bahwa ini adalah novel akan lebih mengena, karena bukan buku non fiksi.

Saya Mencari dan Tidak Menemukannya

Saya tinggalkan urusan judul dan cover depan dengan membalikkan buku lalu membaca bagian blurb-nya. Disampaikan bahwa novel ini dikemas dengan bahasa lugas ala novel remaja, membuat saya tertarik untuk membacanya, karena suka dengan novel remaja alias teenlit (teenager literature), seperti Harry Potter-nya JK Rowling, Petualangan Never Girls di Hutan Gelap karya Kiki Thorpe, dan teenlit Indonesia seperti Dealova karya Nuranindya, Memori Janji Es Krim karya Nimas Aksan rahimahullah, dan Kalung Setengah Hati karya Ramajani Sinaga. 

ulasan buku bukan pasaran terakhir keunggulan dan kekurangan

Saya pun mulai membaca novel 11 bab ini dengan harapan bisa menikmati bahasa lugas ala novel remaja yang dimaksud. Pada bab pertama hingga kedua, saya merasa flat membaca novel ini, tapi masih berusaha mencari, "Mana lugasnya ala novel remaja, seperti yang tertulis di blurb bagian akhir?”

Saya membaca lagi bab-bab berikutnya hingga tamat. Lagi-lagi, saya belum menemukan bahasa lugasnya ala novel remaja. Apakah karena menyelipkan kata-kata seperti BTS, media sosial, atau momen perdebatan antara Kario dengan Ratri sehingga kelugasan ala novel remaja itu terlihat? 

Tema seriusnya memang dapat, walau kurang mengalir jalan ceritanya. Namun, bagian lugasnya ala novel remaja, saya belum merasakan hal itu. 


Bila membandingkan dengan novel lain, seperti momen perdebatan Panda dengan Jack di novel Kalung Setengah Hati karena mengetahui meninggalnya ayah Panda masih ada sangkut pautnya dengan Jack, atau perdebatan antara Harry Potter dengan Profesor Snape di novel Harry Potter and The Prisoner of Azkaban yang tertangkap basah, tengah jalan-jalan di lorong sekolah saat malam hari dan harus menyerahkan Peta Perampok, nuansa lugasnya ala novel remaja, saya rasakan disitu. 

Bahkan, bila membandingkan novel karya Pak Yon Bayu yang terbit pada tahun 2023 yaitu “Prasa - Operasi Tanpa Nama”,  dengan tema cerita novel Prasa tentang operasi militer sang jenderal, yang sama beratnya dengan novel (Bukan) Pasaran Terakhir tentang politik Proyek Strategis Nasional, justru di novel Prasa-lah saya merasakan lugasnya ala novel remaja yang dimaksud, salah satu contohnya yaitu momen pembicaraan Prasa dengan Nyonya Progo mengenai siapa ayah kandung Prasa.


ulasan buku bukan pasaran terakhir keunggulan dan kekurangan

Apakah Ini Hanya Tempelan Saja?

Ada hal yang membuat saya kurang nyaman membaca yaitu ketika ada selipan kata yang dituangkan seperti tempelan, padahal jalan cerita sedang enak untuk disimak. Nah, beberapa hal yang saya anggap seperti hanya tempelan di novel (Bukan) Pasaran Terakhir adalah:

1. Tidak Tegas Menerangkan Ratri sebagai BTS Army

“Ratri mana cocok,” ledek Putri. “Coba kalau yang perform BTS.” ~ halaman 141.

Dari ucapan Putri di atas menyiratkan dia tahu bahwa Ratri adalah penggemar BTS alias BTS Army. Terlebih pada bab berikutnya ada bahasan Ratri sedang menonton drakor alias drama Korea melalui layanan streaming, berarti logikanya jelas bahwa Ratri suka dengan drama maupun musik dari Negeri Ginseng tersebut.  

Sayangnya, kata “BTS” di dalam novel ini, seperti tempelan yang dibuat oleh penulis. Sebab tidak ada keterangan lanjutan yang meng-iya-kan Ratri suka BTS atau tidak. Setidaknya, ada sinyal dari Ratri saat menanggapi ucapan Putri entah itu berdeham, geleng kepala, menaikan bahu, atau lainnya. 

Bila memang “BTS” dalam novel ini bukanlah tempelan, penulis bisa membahas pada bab-bab sebelumnya yang identik dan mengarahkan bahwa Ratri adalah BTS Army, seperti tas atau ponsel Ratri menggunakan gantungan dengan wajah salah satu member BTS, selalu menggunakan lanyard khas BTS Army, atau bisa juga dengan mendendangkan lagu BTS yang populer misalnya Dynamite, Butter, dan Permission to Dance

2. Tidak Menyampaikan Adegan yang Related dengan Perasaan Kario

Aku mencoba menikmati hubungan kita sambil berharap kamu tidak bertemu Priyo lagi. Aku takut jiwamu semakin terbakar oleh amarah hingga tidak tersisa ruang untuk cinta. Akan tetapi, bahkan dalam suasana romantis usai menonton film kocak My Best Friend’s Wedding yang dibintangi Julia Roberts, aku tidak berani menyampaikan harapan itu.” ~ halaman 69. 

Menurut saya, ketimbang setelah menyebut judul film diteruskan dengan kalimat “aku tidak berani menyampaikan harapan itu”, sebaiknya dilanjutkan dengan adegan di dalam film sesuai dengan kondisi yang dialami Kario. Misalnya, 

“…Akan tetapi, dalam suasana romantis usai menonton film kocak Kuch Kuch Hota Hai dibintangi oleh Shahrukh Khan yang memerankan karakter Rahul, aku tak ingin seperti Rahul yang terdiam menangis pilu, melihat Anjali dengan riasan lengkap menggunakan pakaian pengantin dan kedua tangannya yang terhias mehendi akan menikah dengan Aman. Namun, aku tidak berani menyampaikan harapan itu.”

3. Kurang Menerangkan Suasana Hati dan Kaitannya dengan Lagu

“…Lagu Lady dengan suara parau Kenny Rogers dari spiker aktif yang menempel di dinding kayu jati, gagal menenangkan pikiran. Pandangannya masih tertuju pada layar monitor.” ~ halaman 32.

Bila saja lagu Lady dari Kenny Rogers bisa dua sampai tiga kalimat diterangkan atau dideskripsikan lebih panjang, mungkin saya tidak akan bertanya-tanya, “Seperti apa sih lagunya?” atau mengira-ngira, “Ini lagu galau atau kayak apa? genre musiknya apakah rock, ballad, atau pop?”


Kemudian, ketika mengaitkan antara sebuah lagu dengan tokoh dalam novel, andai saja bisa digambarkan lagunya itu seperti apa, lalu hubungkan dengan perasaan hati si tokoh, tentunya bakal lebih nendang lagi pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh Kario, 

misalnya “Lagu galau Lady dengan suara parau Kenny Rogers makin membuat Kario gagal menenangkan pikiran. Ia seperti tersesat dalam labirin perasaan, karena tak bisa mencari jalan keluar guna bertemu seseorang yang dicintainya. Ia pun bergumam lirih menirukan lagu itu, “Lady, for so many years, I thought I'd never find you. Ia alihkan pandangan ke layar laptop agar rasa gusar itu lenyap dengan membaca ulang surat ….”

kelemahan dan kelebihan novel bukan pasaran terakhir
ilustrasi ilegal dari freepik

Penempatan yang Kurang Sesuai

Ada penceritaan untuk suatu karakter yang menurut saya kurang sesuai dalam novel ini, yaitu Ratri menonton drakor dan Reza menonton film lawas, melalui layanan streaming ilegal. Padahal kedua mahasiswa itu adalah aktivis yang mencegah penambangan di sekitar Gunung Kapur. 

Bahkan tokoh Ratri, yang katanya mengupayakan agar petani mendapatkan hak-haknya dalam menggarap sawah bukan dengan cara bagi hasil dengan pemilik sawah, tetapi mengapa ia nonton drakor harus dari layanan streaming ilegal? Bukankah ini bertolak belakang dengan keadilan yang mereka agungkan, malah justru sama-sama melakukan tindakan yang ilegal juga?

Menurut hemat saya, semisal harus ada adegan Ratri yang sedang nonton drama Korea, bisa dengan halus tanpa perlu menuliskan “melalui layanan streaming ilegal” misalnya, “...Sedang asiknya Ratri memandangi ponselnya tanpa merasa terganggu dengan sekitarnya. Ia klik fitur eksplor medsos. Seketika, jemarinya terhenti menggulirkan layar sentuh itu, karena matanya tertuju menonton cuplikan drakor yang menceritakan tentang kegigihan siswa melawan perundungan...”

Typo dan Kurang Nyamannya Penggunaan Kata

Saat membaca buku lalu menemukan ada typo, mungkin bisa membuat kenyamanan jadi berkurang. Menurut saya typo yang ada dalam novel (Bukan) Pasaran Terakhir, terbilang tidak begitu mengganggu, ketimbang dengan bagian lain yang sebutkan di atas. Typo yang dimaksud seperti pada: 

  • Halaman 39 -> “kapitaisme”, seharusnya “kapitalisme”
  • Halaman 46 -> “sediit”, seharusnya “sedikit”
  • Halaman 143 -> “syairya”, seharusnya “syairnya”
  • Halaman 160 -> “drip”, seharusnya “sepi”

Namun ada yang membuat saya bingung, yaitu jenis font berubah pada halaman 39 bagian akhir, apakah itu kesengajaan atau bagaimana saya kurang paham dengan ini. 

ulasan novel bukan pasaran terakhir
ada perbedaan jenis font yaitu pada kalimat terakhir, halaman 39 - dok.rejekingalir.com

Selain itu, adanya penggunaan kata yang kurang nyaman dibaca pada novel ini, seperti:

Tidak boleh berpikiran buruk terhadap orang yang belum kalian dikenal,” Tegur Kario ~ halaman 45.

Lebih baik menjadi -> “tidak boleh berpikiran buruk terhadap orang yang belum mengenal kalian”, atau “….terhadap orang yang kalian belum dikenal”.


Pada halaman 73, “Ratri kembali ke sikapnya aslinya”. 

Lebih baik menjadi “Ratri kembali pada sikap aslinya”, atau “Ratri kembali pada sikapnya yang asli”. 


Pesan Moral Tersirat yang Related dengan Kehidupan

Dari novel dengan tebal 166 halaman ini, menurut saya cenderung ke arah novel sosial budaya, karena menceritakan tentang pasar Ampelan, Uyon-uyon, tentang berbagai tanaman dan sistem bertani. Pasalnya untuk adegan aksi, kisah romantis, dan bahasa ala-ala novel remaja, sayangnya belum saya dapatkan feel-nya. 

Begitu pula untuk perpindahan dari satu adegan ke adegan lain yang kurang smooth. Lompat-lompat dan terkesan dipaksakan untuk berpindah. Salah satunya seperti pada halaman 32, sedang asiknya saya menikmati bagaimana Embing memantau para mahasiswa sambil tersenyum, eh malah tiba-tiba berubah adegan ke kamarnya Kario. Padahal bila dibiarkan dulu deskripsi cerita tentang Embing dalam satu paragraf di halaman 32 itu, akan terasa lebih elok alur cerita yang dibawakan di novel ini. 

ulasan buku bukan pasaran terakhir

Walau demikian, adanya selipan pesan moral tersembunyi dari balik layar laptop yang related dengan kehidupan, dapat sedikit mengobati saya sebagai pembaca novel yang terbit pada bulan Oktober 2024 ini, seperti:

  • Pentingnya menjunjung adab sebagai tamu terhadap pemilik rumah. 

  • Dari sisi tuan rumah, saat menjamu tamu lakukan dengan hal yang baik. 

  • Pemahaman bahwa dalam setiap tindakan hendaknya dipikirkan secara matang sebelum melaksanakannya. 

  • Ketika akan membuat suatu keputusan untuk dipertimbangkan dan dibicarakan dengan orang terdekat/keluarga, sehingga bisa makin mantap melangkah.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan tidak bermaksud sotoy, semoga ulasan saya ini bisa memberikan masukan positif yang bermanfaat untuk penulis, karena ini sebagai bentuk dukungan agar penulis terus berkesinambungan menghadirkan kreasi terbaiknya. Sebab pastinya, bisa konsisten membuat karya tulis dan menyajikannya dalam bentuk cerita yang mengalir, bukanlah hal yang mudah. Mohon maaf bila ada salah-salah kata, semangat selalu berkarya, Pak Yon!

4 komentar

Komen Blog rejekingalir.com
Yuni Bint Saniro mengatakan…
Kayaknya novel Buku (Bukan) Pasaran Terakhir adalah jenis novel yang berat untuk kucerna. Apalagi kalau memang benar bahwa sebenarnya novel ini bukan termasuk dalam novel dengan bahasa teenlit tapi lebih mengarah ke novel sosial budaya.
Komen Blog rejekingalir.com
Iim Rohimah mengatakan…
Hal menariknya desain sampul bukunya. Apalagi ada kata "Pasaran" kesannya seperti novel jadul. Misalnya Ronggeng Dukuh Paruk tuh sampulnya kuning tapi seperti itu.

Ternyata ini terbitan 2024 ya. Saya penasaran jadinya.
Komen Blog rejekingalir.com
Siska Dwyta mengatakan…
Wah aku juga terkecoh dengan covernya Mbak. Kukira ini bukun non fiksi dan bahasannya tentang demokrasi eh unjuk rasa mahasiswa gitu eh tak disangka ternyata ini sebuah novel toh.
Komen Blog rejekingalir.com
abahraka mengatakan…
Kalo membaca novel yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa itu serasa tersuntikkan lagi semangat mudanya. Novel Bukan (pasaran) terakhir sepertinya bakal seru ya.

Apalagi waktu mahasiswa beberapa kali terlibat juga unjuk rasa. Salah dua novel yang pernah saya baca juga tentang mahasiswa yang hilang tahun 98, cuma bahasa Sunda. Saya kini sedang membaca Laut Bercerita, sepertinya bakal seru juga.

friends

Blogger Perempuan Network
Blogger Perempuan Network
KSB
KSB
BCC Squad
BCC Squad
KEB
KEB
Intellifluence
Intellifluence
Bplus
Bplus
Logo Komunitas BRT Network
Postingan Terpopuler